17) Malam badai di Sorake

Ilustrasi (sumber foto: onmilwaukee.com)
Akhirnya, pada pukul 5, Helbin, Rikardo, dan Bernardo muncul di penginapan. Helbin mengajakku berselancar. Aku pergi dari hadapan tanpa mau mengucapkan satu patah kata pun. Aku kesal sekali kepadanya. Sudah kukatakan padanya bahwa dia harus datang tepat pukul 3 karena jam 5 aku sudah ada janji dengan anak-anak Pak Sanaly.

Helbin terus-menerus minta maaf karena perasaan bersalah. Dia berusaha menjelaskan bahwa sebenarnya dari tadi dia sudah ingin pulang tapi Bernardo terus menahannya. Bernando bilang aku pasti bisa memaklumi keterlambatan ini. Bernando juga berjanji dia yang akan menjelaskan situasinya kepadaku. Boro-boro dari Bernando, penjelasan dari Helbin saja aku sudah tidak mau dengar lagi.

Ketika aku dan anak-anak akan berangkat, tiba-tiba saja nyonya Sanaly berubah pikiran. Dia tidak mengizinkan anak-anaknya bermain di laut. Tapi karena anak-anaknya terus memohon, akhirnya hati nyonya Sanaly melunak tapi dengan syarat kami hanya boleh bermain di depan penginapan. Yah, si ibu, pantai berkarang seperti itu kan tidak ada nilai keindahannya. Tapi ya sudahlah, daripada tidak jadi.

Bermain-main di laut sudah kami rencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Setiap hari Nur selalu memastikan bahwa aku belum berubah pikiran. Jadi, sekarang kalau tiba-tiba membatalkan rencana kami ini, itu akan sangat menyakiti perasaan mereka. Aku sudah berjanji, jadi aku harus menepatinya.

Helbin masih berusaha membujukku untuk berselancar. Tapi aku tidak mempedulikannya. Sebenarnya aku sudah tidak berminat lagi berselancar. Aku masih trauma karena kejadian tadi pagi. Tapi aku tidak ingin mengatakannya kepada Helbin karena aku tidak menyukai orang yang tidak bisa menepati janjinya. Dia sudah molor 2 jam dari waktu yang dia sendiri janjikan. Jadi, biarkan saja dia tersiksa dengan perasaan bersalah.

Aku bermain-main dengan Nur dan Anisa. Kami benar-benar bersenang-senang sore itu. Ini hari terakhir kami bisa begini. Sejujurnya ada perasaan sedih di dalam hatiku. Aku sangat menikmati liburanku di Sorake. Walaupun bukan liburan yang sempurna tapi memiliki kesan tersendiri. Beberapa orang lokal menerimaku tidak sebagai turis tapi sebagai teman. Tapi pernah juga ada seorang pemuda lokal yang datang padaku dan secara terang-terangan mengajakku berkencan serta mengatakan bahwa aku pun pasti sudah biasa melakukannya. Setelah aku menolaknya, dia tidak pernah datang lagi ke penginapan.

Ada juga orang lokal yang mengataiku pelacur. Dengan menggunakan bahasa daerah, Nur membelaku dengan mengatakan bahwa aku perempuan baik-baik. Ini bukan pertama kalinya aku dikatakan pelacur, di Tangkahan ada juga yang menganggapku seperti itu. Walaupun pada akhirnya pemuda itu meminta maaf padaku di malam kami berbincang-bincang. Dia jadi merasa bersalah karena sudah menghakimiku di dalam hatinya padahal tidak mengenalku sama sekali. Mungkin memang kelihatan aneh di mata orang lokal jika ada seorang perempuan yang pergi berlibur sendirian. Dan sepertinya mereka belum bisa membedakan antara pelacur dengan wisatawan.

Malam itu aku masih menghabiskan waktuku dengan Nur dan Anisa. Kami jalan-jalan di sekitar Sorake. Setelah agak malam, kami pulang ke rumah. Aku tidak melihat kedua pria Brasil itu, mungkin mereka sedang berada di bar untuk membuat pesta perpisahan. Aku masih kesal dengan mereka bertiga, jadi aku ingin langsung tidur supaya besok pagi bisa bangun cepat.

Duar duar duar. Aku kaget dan terbangun karena mendengar petir menggelegar. Karena tidak bisa tidur, aku bangun dari tempat tidur dan ingin melihat kondisi langit di luar. Aku melihat ada seseorang yang sedang tidur di tempat tidur gantung di depan kamarku. Hei, itu kan Rikardo. Mengapa tengah malam begini dia tidur di luar? Tapi karena aku masih kesal, aku jadi malas keluar kamar dan bertanya.

Sepanjang malam itu, hujan turun dengan derasnya dan petir terus menggelegar. Berkali-kali aku terbangun, dan aku melihat Rikardo msih tidur di luar. Aku kasihan padanya, bukankah di luar dingin sekali. Ketika aku hendak keluar, aku melihat Bernardo duduk di depan kamar mereka. Aku mengurungkan niatku untuk keluar kamar. Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah mereka sedang menungguku?

Sebelum masuk kamar biasanya aku meletakkan sendal di depan kamar. Jadi kalau sendalku tidak ada di depan kamar berarti aku sedang pergi entah kemana. Tadi aku memang sengaja memasukkan sendal ke dalam kamar. Bisa jadi sekarang mereka sedang berpikir aku masih di luar. Tapi, mereka tidak harus menungguiku. Aku kan sudah besar. Kalau aku pergi, aku pasti tahu jalan pulang.

Aku duduk di atas tempat tidurku dan menimbang-nimbang apakah aku keluar saja atau tidak. Jam terus berputar. Akhirnya, Bernardo sudah sangat lelah, dia masuk ke dalam kamar. Sekarang hanya Rikardo yang masih terjaga. Kira-kira jam 3-an tiba-tiba lampu mati. Karena suasana sudah gelap gulita, aku pun memutuskan untuk tidak keluar kamar dan tidur saja. Besok aku akan melanjutkan perjalanan dan perjalanan masih jauh.

Comments

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

Setahun Setelah Keliling Indonesia