15) Peristiwa traumatis di Sorake
Helbin mencarikan seorang anak lokal sebagai temanku berselancar. Anak itu mengajakku ke Sorake. Aku sebenarnya masih takut menghadapi ombak Sorake, namun Pak Sanaly terus meyakinkanku bahwa inilah saatnya untuk membuktikan hasil latihanku selama beberapa hari terakhir.
Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi aku selalu terlambat berdiri di atas papan selancar ketika ombak datang. Sepertinya aku belum menyatu dengan irama laut Sorake. Intuisiku masih kurang dalam menghadapi ombak besar yang datang. Hasilnya adalah aku selalu tergulung di dalam ombak.
Lalu aku katakan kepada anak itu - aku lupa namanya - bahwa sebaiknya kami berselancar di Lagundri saja. Aku masih takut berselancar di Sorake. Lalu kami pun mulai mengayuh papan selancar kami menuju pantai. Aku ikuti anak itu karena aku belum menguasai pantai Sorake.
Anak itu sudah berada di pantai. Sementara aku karena terlalu lambat mengayuh, masih ketinggalan di belakang. Ketika sudah hampir di pantai, aku tidak melihat sebuah ombak besar datang di belakangku dan menghantamku ke batu karang. Aku mengaduh kesakitan, lalu aku buru-buru ingin secepatnya naik ke pantai. Kakiku tidak bisa bergerak. Tali papan selancar tersangkut di sela-sela batu karang. Hah?!
Aku mencoba masuk ke dalam air untuk melepaskan tali yang tersangkut. Namun, ombak terus-menerus datang dan menghantam kepalaku ke batu karang. Sakit sekali. Tuhan, tolonglah jangan biarkan aku mati disini. Ini bukan kampungku bahkan sanak saudaraku tidak ada disini. Tuhan, aku tidak mau mati disini.
Aku berteriak kepada anak itu, tapi deru ombak yang keras membuat dia tidak mendengar suaraku. Dia cuma berdiri menungguku. Aku teriak sekerasnya. Tolong. Tolong. Tolong. Siapa saja, tolong aku. Tolong selamatkan aku. Aku belum mau mati. Tolonggggggggg....
Tapi tak ada seorang pun yang datang. Memang tak ada seorang pun disana. Anak itu juga berada jauh disana dan tidak mengerti aku sedang minta tolong. Hanya aku sendiri yang mendengar teriakan minta tolongku.
Tuhan, kalau memang sudah waktunya aku mati, biarlah aku mati. Kalau memang sudah saatnya aku menyusul kedua orang tuaku, biarlah aku mati. Tapi Tuhan, kumohon aku belum mau mati. Paling tidak, aku tidak mau mati disini.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tidak bisa melepaskan tali yang tersangkut di batu karang. Tuhan, aku butuh mukjizat saat ini. Tuhan, Engkau sudah pernah menyelamatkanku. Sekali lagi tolonglah, selamatkan aku. Kumohon.
Tak berapa lama datang sebuah ombak yang besar sekali dan menghantamku ke batu karang. Aduh, sakit sekali. Tanganku penuh goresan karena aku berusaha melindungi kepalaku supaya tidak terkena karang. Tuhan, kumohon tolonglah aku. Aku pasrah tapi aku belum mau mati. Tuhannnnn... tolong aku. Dengan berurai air mata, aku berteriak memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkanku.
Lalu, datang lagi sebuah ombak yang jauh lebih besar. Aku terpana melihat ombak tersebut. Di dalam ketakutan aku berteriak, "Tuhan, kumohon selamatkanlah aku. Sekali lagi aku memohon belas kasihanMu. Aku belum mau mati."
Ombak yang sangat besar itu menerjangku kembali ke arah batu karang. Kali ini aku sudah pasrah. Kututup mataku. Ketika kubuka mata, ternyata aku sudah berada di tengah lautan. Apakah aku sedang bermimpi? Apakah aku sekarang sedang berada di surga? Kucubit tanganku, sakit sekali. Jadi ternyata aku belum di surga. Aku masih hidup. Terima kasih Tuhan. Setelah itu secepat kilat kutarik tali papan selancarku dan langsung naik.
Aku masih trauma karena kejadian yang barusan. Kukayuh papanku cepat-cepat menuju pantai. Kukatakan kepada anak itu bahwa tadi tali papanku tersangkut di karang. Dia bilang kalau begitu sebaiknya aku harus melepaskan tali yang diikatkan di kakiku. Lebih baik papannya yang hilang daripada nyawaku yang hilang. Dia dengan gampangnya bilang begitu. Dari tadi aku kebigungan dan ketakutan setengah mati, tapi dia tidak datang mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Karena kejadian ini, nyaliku turun dengan drastis. Menciut. Aku sudah tidak bersemangat lagi untuk berselancar. Anak itu juga ternyata sebenarnya takut berselancar di Lagundri karena baru-baru ini ada seorang turis yang mati tenggelam. Orang yang mati itu masih menghantuinya. Jadi, tak berapa lama, kami pun siap-siap pulang.
Setelah mandi, aku mengepak beberapa barang ke dalam tas ranselku dan memastikan tidak akan ada barang yang akan ketinggalan. Helbin dan kedua pria Brasil itu belum juga kembali. Lalu aku duduk-duduk di depan penginapan. Pikiranku kosong. Aku terus mengamati tempat dimana aku hampir mati tadi.
Comments
Post a Comment