11) Sorake, surga bagi para peselancar

Karena aku sudah memutuskan ingin belajar berselancar, maka aku ambil paket belajar selama 3 hari. Setelah melakukan proses tawar-menawar, akhirnya kami sepakat biayanya 300.000 dan aku akan mulai belajar sore ini.

Dari teras penginapan, tidak bosan-bosannya aku memperhatikan para peselancar yang dengan sabarnya menunggu di tengah laut sampai datang ombak yang bagus untuk ditunggangi. Ketika ombak yang bagus sudah di depan mata, mereka langsung siap-siap berdiri di atas papan selancar kemudian berselancar mengikuti ombak.

Para peselancar sedang menunggu ombak
Berselancar di Sorake
Berselancar di Sorake
Ketika aku sedang menikmati pertunjukan tersebut, instrukturku datang dan mengejutkanku dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.
"Bisa berenang?"
"Hmmm, bisa."
"Takut berenang di laut?"
"Tidak."
"Berapa lama bisa tahan di dalam air?"
"Hmmm, aku pernah berenang 500 meter tanpa berhenti."
"Ok, mantap. Kalau begitu tidak akan jadi masalah."

Lalu dengan sangat percaya diri, aku membawa papan selancarku dan berjalan seolah-olah aku adalah peselancar profesional (yang penting kelihatan jago dulu, soal kemampuan itu urusan belakangan ^_^). Ini pengalaman pertamaku mencoba berselancar. Kalau lihat di TV, kelihatannya keren deh orang-orang yang bisa berselancar dan aku ingin sekali seperti mereka. Aku jadi begitu bersemangat. Semangat petualanganku sedang berkobar-kobar saat ini.

Aku dibawa oleh instrukturku, Helbin ke pantai Sorake. Lalu kami mulai mengayuh papan selancar menuju ke tengah-tengah laut. Helbin memegangi papan selancarku dan memberi aba-aba supaya aku langsung berdiri di atas papan selancar begitu ombaknya sudah datang. Sial, aku terlambat satu detik dan aku pun tergulung-gulung di dalam ombak yang begitu besar. Sekali lagi, aku dan Helbin mencoba ombak yang tidak terlalu tinggi. Ketika aku sudah menahan kakiku untuk berdiri di atas papan selancar, tiba-tiba kakiku melemah dan aku pun jatuh dari papan selancar lalu tergulung-gulung lagi di dalam ombak. Baru saja aku mencoba naik ke papan selancarku, tiba-tiba ombak yang sangat besar datang dan nasib orang yang belum berpengalaman ini pun tidak dapat mengelak dari ombak tersebut. Ombak tersebut menggulungku dan membawaku hampir sampai ke pantai.

Sekali lagi aku ingin mencoba. Untuk ketiga kalinya aku masih tetap gagal, akhirnya aku menyerah. Kakiku tidak kuat berdiri di atas papan selancar. Lalu Helbin bilang dia akan mengajariku di pantai Lagundri saja. Ombak disana tidak terlalu tinggi jadi cocok buat pemula yang sedang belajar seperti aku ini. Akhirnya kami mengayuh papan selancar kami menuju pantai. Lalu berjalan kaki menuju Lagundri.

Penginapan di sepanjang Pantai Sorake
Sorake Beach Resort
Di sepanjang pantai Sorake berjejer banyak sekali losmen dengan kisaran harga 100.000 sampai 150.000 per malam. Turis-turis biasanya datang hanya untuk berselancar. Ombak Sorake memang terkenal sebagai tempat berselancar. Sorake merupakan ombak terbaik ketiga setelah Hawai dan Australia. Warga lokal pun memanfaatkan potensi wisata daerah mereka untuk mencari nafkah seperti mendirikan penginapan, menjadi pemandu, fotografer lepas, atau tukang video lepas.

Suatu sore setelah berkeliling Nias Selatan, Helbin membawaku ke sebuah tempat yang tidak jauh dari pantai Sorake. Di pintu masuk, aku melihat tulisan Sorake Beach Resort. Suasananya di sekitar resort sangat sepi bahkan tidak ada orang di pos penjaga. Aku penasaran melihat tempat ini. Terlihat kamar-kamar dengan desain tradisional yang indah namun sudah terlihat tua dan kurang perhatian. Namun di sekelilingnya terdapat taman dengan bunga berwarna-warni yang dirawat dengan baik.

Ketika aku sedang duduk menikmati suasana yang sepi ini di lobi, datanglah seorang pria yang ternyata adalah manajer disini. Beliau bercerita mengenai kejayaan resort ini di masa lalu. Aku bisa membayangkan bagaimana indah dan megahnya tempat ini di tahun 1990an. Walaupun terlihat sangat sepi dan di beberapa titik sudah terlihat kurang terawat, aroma kejayaan di masa lalu sedikit masih terlihat.

Secara kasat mata, tempat ini bisa dikatakan sudah mati. Seperti istilah dalam pepatah lama, hidup segan mati tak mau. Aku bertanya kepada manajernya (aku benar-benar penasaran) kenapa dia masih mau kerja disini sementara tempat ini sudah tidak menghasilkan uang lagi. Sepertinya beliau masih berharap tempat ini bisa kembali seperti kondisi belasan tahun yang silam. Dan memang dari awal aku berbincang-bincang dengan beliau, aku menangkap kesan beliau menganggap dirinya seolah-olah pemilik tempat ini. Namun demikian, aku salut melihat beliau dengan setianya merawat areal resort yang begitu luas ini.

Sebenarnya sayang sekali tempat seindah ini bisa bangkrut. Ketika sedang mengalami masa kejayaannya, tiba-tiba terjadi ketidakjelasan dalam manajemen yang berujung tak seorang pun di level manajemen puncak yang mau mengurusi tempat ini lagi.

Ketika sudah tiba saatnya aku akan belajar berselancar lagi, aku dan Helbin pamit. Manajernya berpesan padaku untuk menyampaikan kepada orang lain bahwa tempat ini masih buka dan ada beberapa kamar yang masih bagus disewakan dengan tarif 150.000 per malam. Aku tanya kepada beliau, kira-kira berapa dulu tarifnya per malam. Beliau menjawab sekitar satu jutaan.

Ada satu hal yang paling aku tidak suka di Sorake yaitu harga makanan yang sangat sangat mahal. Daftar harga makanan di tempat aku menginap membuatku geleng-geleng kepala. Suatu kali aku memesan mie goreng kepada istri pemilik penginapan. Aku lihat sendiri ketika sebungkus indomie dicampur dengan sayur-sayuran lalu jadilah mie goreng pesananku seharga 25.000. Menurutku harga makanan yang dibuat tidak wajar. Mereka, warga lokal menganggap siapapun orang yang bisa berlibur adalah orang kaya dan memiliki banyak uang. Mereka memanfaatkan situasi ini dengan membuat harga makanan melebihi tingginya langit.

Ada sebuah kejadian ketika aku hendak membeli mie gelas (mie dalam kemasan gelas styrofoam) di warung. Aku kaget sekaget-kagetnya ketika pemilik warung mengatakan harganya 8.000. Apa-apaan ini? Di Jakarta, aku biasa beli mie seperti itu seharga 4.000. Tapi karena aku kelaparan sekali sementara istri pemilik penginapan sedang pergi berbelanja ke Teluk Dalam dan tidak ada makanan di penginapan yang bisa aku makan, maka dengan tidak iklas aku pun membeli mie tersebut.

Kejadian yang lain, ketika aku tertarik ingin makan chitato (kentang goreng dalam kemasan plastik). Aku ambil kemasan sedang. Lalu pemiliknya mengatakan 16.000. Apa?! Aku biasa beli 5.000. Kali ini aku benar-benar tidak bisa terima lagi, aku letakkan chitato kembali ke tempatnya semula. Ckck, benar-benar harga yang tidak manusiawi.

Kalau tidak ingat harga makanan yang melambung tinggi, berlibur disini sangatlah menyenangkan. Kegiatanku setiap hari adalah belajar berselancar. Setelah selesai, biasanya aku duduk di teras penginapan dan menonton para peselancar profesional yang terus bermain-main di ombak Sorake. Aku pernah melihat papan selancar seorang peselancar terbelah oleh ombak yang begitu besar. Agak seram juga melihat kejadian tersebut. Tapi untunglah orang tersebut bisa mencapai pantai walaupun setelah bersusah payah melawan gelombang.

Hal lain yang sangat menyenangkan disini adalah kebetulan banyak sekali pria latin yang sedang berlibur disini. Aku adalah pecinta pria latin (hehe ^_^). Menurutku pria latin itu eksotis. Ditambah pula mereka menekuni olah raga yang membuat badan mereka terlihat atletis. Berada di antara pria-pria yang eksotis dan macho ini membuat liburanku di Sorake menjadi berkesan. Belum lagi dua pria latin di sebelah kamarku, Rikardo dan Bernardo, membuat hari-hariku menjadi berwarna.

Comments

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

[Bahasa Italia] Kata Sifat