[Bali] A nightmare for a female solo traveler

Aku mengenal Wayan di Virgin Beach. Dia sangat baik. Dia membawaku menikmati pantai dari tempat yang jarang didatangi orang. Setelah jam 5 sore, aku bilang aku ingin pulang, aku takut aku tidak dapat bemo lagi untuk pulang ke penginapan. Lalu Wayan bilang akan mengantarku sampai ke penginapan.

Dia mentraktirku satu botol minuman. Lalu kami ngobrol-ngobrol. Karena sudah semakin malam, aku minta dia untuk mengantarku pulang. Dia bilang tenang saja dan berjanji akan mengantarku sampai ke penginapan. Kami minum lagi di pantai. Pantai sudah semakin sepi. Disini tidak ada penginapan. Para pemilik cafe biasanya datang di pagi hari lalu sorenya ketika semua wisatawan sudah pulang mereka pun pulang.

Kami sudah minum dua botol. Aku memohon kepada Wayan sebaiknya pulang saja sekarang karena sudah malam. Wayan berusaha mencari alasan untuk berlama-lama. Tiba-tiba aku mendapat firasat kurang baik. Sekali lagi aku memohon untuk pulang, tapi dia bilang sebentar lagi.

Tiba-tiba saja aku sudah berlari. Aku terus lari dan berlari. Aku bingung hendak kemana. Tidak ada orang di pantai. Bukankah tadi aku melihat ada orang yang sedang membersihkan ikan? Kemana mereka? Apakah mereka sudah pulang?

Sebuah ilustrasi
Aku bodoh sekali. Bisa-bisanya aku mengalami kejadian seperti ini. Aku terus menyesali kebodohanku. Mimpi apa aku tadi malam sehingga aku bisa mengalami kejadian seperti ini?

Aku sembunyi di dalam sebuah jukung (perahu), aku takut Wayan melihatku. Aku mencoba menenangkan diri. Aku mencoba mengatur nafasku yang ngos-ngosan. Aku coba menelepon Boy, seorang karyawan penginapan. Tidak ada sinyal. Aduh, bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi padaku?

Ya Tuhan, ampunilah dosa hamba-Mu ini. Aku benar-benar bodoh sekali bisa berpikir bahwa dia orang baik. Tuhan tolonglah aku. Tolong lepaskan aku dari sini. Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku bahkan tidak tahu jalan keluar dari sini.

Aku terus menerus minta ampun kepada Tuhan. Lalu aku bernazar kalau aku bisa keluar dengan selamat dari tempat ini tanpa disentuh oleh Wayan, aku akan melayani Tuhan.

Nafasku sudah mulai netral. Aku mencoba berpikir apa yang bisa kulakukan. Aku sama sekali tidak tahu jalan keluar dari sini. Tempat ini jauh sekali di dalam hutan. Aku takut aku malah tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba aku ingat bosnya Wayan yang punya villa di ujung pantai. Tadi Wayan cerita kadang-kadang bosnya datang dan menikmati kesendirian di villanya. Dan tadi aku melihat bosnya ada di rumahnya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung keluar dari jukung dan berlari ke arah villa.

Aku jelaskan apa yang terjadi kepada orang Amerika ini.
"So he is not your boyfriend?"
"No. I just know him by today on the beach."
"So, what you gonna do now?"
"Please help me. I wanna get out from here. I wanna back to the homestay."
"Yes. But how?"
"I have no idea."
"Relax. Just think."
"Ok. I wanna call a guy who work in the homestay. But my phone have no signal. So I can not call him."
"My phone has signal. I can borrow my phone to you."
"Oh really. Thank you."

Lalu aku menelepon Boy. Aku minta tolong padanya untuk menjemputku di Virgin Beach. Tak lama kemudian Boy datang. Wayan berusaha menjelaskan kepadanya bahwa dia berniat mengantarku pulang setelah ngobrol-ngobrol dulu. Dengan pelan kubilang ke si Boy, sudah jangan dengarkan dia, mari kita pergi.

Wayan berkeras ingin mengantarku ke penginapan. Jujur, aku takut sekali kalau sampai-sampai membuat Wayan marah. Aku takut dia berbuat nekat. Aku berusaha bersikap baik padanya walaupun aku sudah muak melihatnya. Akhirnya dia melunak. Aku naik ke motornya Boy. Di jalan raya, dia berkeras lagi ingin ikut ke penginapan. Aku sudah muak melihatnya. Aku ingin semuanya berakhir sampai disini. Dengan berpura-pura bersahabat aku bilang ke dia bahwa hal itu tidak perlu, semuanya akan baik-baik saja. Setelah cukup lama berdebat. Akhirnya dia menyerah. Dia tidak ikut penginapan. Syukurlah.

Sesampainya di penginapan, air mataku sudah tidak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku bodoh sekali. Aku memang masih hijau di dunia petualangan seperti ini. Aku seharusnya bisa menjaga diriku sendiri. Aku benar-benar bodoh karena sempat mengabaikan intuisiku dan kehilangan sikap waspada.

Keesokan harinya, aku memberikan uang kepada Boy sebagai ungkapan terima kasih. Setelah itu aku menunggu minibus menuju Batubulan.

Sesampainya di terminal Batubulan, aku berikan 15 ribu. Di Bali ini memang aneh, kalau kita tidak memberikan uang pas, uang kita tidak dikembalikan.

Di Batubulan aku mencari toko oleh-oleh. Setelah bayar, aku tanya kasirnya bagaimana aku bisa dapat taksi ke bandara. Kasirnya baik sekali. Dia bilang di Batubulan jarang sekali ada taksi, tapi dia bisa minta tolong ke Pak Wayan untuk mengantarku ke pangkalan taksi. Wayan yang satu ini bukan Wayan yang aku temui semalam di Virgin beach. Ini Wayan yang lain. Di Bali ada seribu orang yang bernama Wayan. Pak Wayan ingin mengantarku ke bandara. Lalu aku tanya apakah motor bisa masuk ke bandara, Pak Wayan tidak tahu pasti apakah bisa atau tidak. Akhirnya aku memutuskan untuk diantar ke pangkalan taksi saja. Untunglah masih ada laki-laki Bali yang baik hati.

Di bandara, aku ketemu dengan bli Putu. Dia yang menyapaku duluan ketika melihatku hendak masuk ke dalam bandara. Singkat cerita, aku pun pulang dan sampai di rumah. Senang sekali rasanya karena sudah kembali di rumah.

Comments

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

[Bahasa Italia] Kata Sifat