Menyerah?

Ilustrasi (foto:)
Di desa Munduk, sebuah desa yang sangat dingin di Bali Utara, aku berkenalan dengan seorang eh bukan dua orang cowok Perancis. Awalnya mereka ragu berbicara denganku tapi setelah kujelaskan bahwa Wayan adalah pemanduku dan tidak ada hal romantis diantara kami, akhirnya kami jadi teman akrab. Kebetulan sekali, kami sama-sama menginap di Lovina.

Jean dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih mengatakan dia baru saja wisuda dari universitas di Kendari sementara temannya dari Korea. Aku tertawa mendengarnya. Aku benar-benar ketawa di depan cowok ganteng ini.

"Kenapa kamu pilih kuliah di Kendari? Biasanya kan bule kuliah di Jogja atau Solo. Lah ini di Kendari, tidak ada orang yang tahu dimana itu Kendari."

"Justru itulah yang kuinginkan. Kamu tahu tidak, aku bule pertama yang kuliah di Kendari. Tidakkah menurutmu itu sangat keren?"

"Hmmm, iya sih keren. Sekaligus gila."

"Itu adalah impianku, melakukan hal-hal yang tidak biasa di dalam hidupku. Kuliah di Kendari adalah impianku."

Mengenang kembali kejadian setahun yang silam, aku jadi merasa déjà vu saat ini. Lima tahun yang lalu, ketika aku sedang duduk di stasiun UI, aku melihat mahasiswa-mahasiswi yang lalu lalang. Saat itu terlintas di dalam pikiranku adalah suatu hal yang keren kalau aku kuliah disini. Di tahun 2013, ternyata hal tersebut menjadi kenyataan.

Setelah aku mengikuti ujian masuk, aku berdoa selama beberapa minggu. Tuhan, jika memang kuliah di UI adalah jodohku biarlah aku lulus ujian dan jalanku dipermudah, tapi kalau bukan jodohku jangan buat aku lulus. Dan ternyata aku lulus.

Untuk bisa mendaftar ulang, aku harus membayar 18 juta. Aku baru saja kembali dari perjalanan keliling Indonesia dan uangku benar-benar habis. Aku bokek. Bokek total. Hasil tabunganku selama bekerja beberapa bulan terakhir ditambah meminjam kesana-kemari, terkumpullah uang sebesar 16 juta. Aku mencoba mencari pinjaman lagi ke teman-temanku yang lain tapi tidak ada yang bisa mempiutangi. Malah ada yang takut kasih pinjaman. Takut aku lari dan tidak membayar.

Aku sudah putus asa saat itu, benar-benar putus asa. Aku datang lagi kepada Tuhan. Tuhan, tahun lalu aku sudah berdoa kalau memang jodohku buatlah aku lulus dan jika bukan jodohku jangan luluskan aku. Kenapa aku lulus kalau pada akhirnya aku tidak bisa membayar sejumlah dana untuk pendaftaran ulang? Tuhan kalau memang ini adalah jodohku kenapa tidak Kau permudah jalanku. Tuhan, ini adalah yang kumau. Aku ingin kuliah lagi. Aku hanya butuh dua juta lagi. Jika memang pada akhirnya aku tidak bisa mengumpulkan sejumlah uang yang diminta sampai pada hari H, biarlah itu menjadi pertanda bahwa itu bukan jodohku. Tapi Tuhan kalau aku bisa memohon, aku ingin sekali kuliah.

Di hari Senin, ketika aku sedang curhat dengan temanku, tiba-tiba temanku menawarkan pinjaman. Suatu mukjizat terjadi di dalam hidupku. Akhirnya semua dana yang kubutuhkan untuk mendaftar sudah terkumpul. Ternyata Tuhan sebenarnya telah menyediakan jalan buatku. Mungkin kemarin itu Tuhan hanya sedang menguji hatiku, benarkah ini yang kumau, bukan hanya emosi sesaat.

Aku mulai mengikuti perkuliahan. Awalnya ada perasaan takut karena sudah lama - delapan tahun - tidak belajar di pendidikan formal. Walaupun berkali-kali aku mencoba menyemangati diri sendiri bahwa ini hanya sementara saja, tapi perasaan takut itu tidak begitu saja hilang.

Baru beberapa hari mengikuti perkuliahan, staminaku langsung menurun sampai 70%. Badanku pegal sekali. Tiap pagi aku berjuang untuk bisa bangun. Di kampus aku setiap hari berjuang melawan rasa kantuk. Di kantor, aku berjuang untuk bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugasku. Belum lagi perjuangan naik kereta supaya tidak terlambat sampai di kampus.

Aku ingin sekali berhenti kuliah. Kalau mengingat 18 juta bukan uang yang sedikit, aku merasa sayang untuk berhenti kuliah. Apalagi kalau mengingat bahwa kemarin itu aku seperti seorang anak kecil yang merengek-rengek ke Tuhan dan mengatakan bahwa aku ingin sekali kuliah. Tapi kalau ingat lagi aku sudah tidak kuat secara fisik, aku sudah bersedia untuk mengiklaskan uang tersebut.

Aku kehilangan hidupku yang sangat-sangat nyaman di masa lampau. Aku tidak bisa lagi berenang dua kali seminggu. Aku tidak punya waktu lagi untuk menulis. Oh, aku jadi meradang mengingat kehidupan yang baru saja kutinggalkan.

Aku sudah mengosongkan gelasku. Dari awal aku sudah berniat memulai hal baru dengan semangat yang baru. Tapi aku seperti berada di gurun pasir yang kering kerontang dan aku tidak menemukan setetes air. Hingga aku teriak, "Angin... bawalah aku pergi dari sini. Bawalah aku pergi. Aku tidak mau disini lagi."

Walaupun teman-temanku terus mendukungku (aku sangat bersyukur memiliki banyak teman yang sangat baik) untuk terus bertahan, namun aku sudah tidak kuat. Aku tidak kuat menjalani hidup seperti ini. Aku menyesal telah memilih jalan ini. Aku rutin makan tiga kali sehari tapi berat badanku terus berkurang. Entah sampai kapan aku bisa bertahan menjalani hidup seperti ini?

Sampai suatu hari, aku memimpikan kedua orang tuaku (may their souls rest in peace) dan di kaki ibuku aku menangis sejadi-jadinya menceritakan semua penderitaanku. Ketika aku terbangun, aku masih menangis.

Ketika aku mulai tenang, aku memikirkan lagi kehidupanku di masa lalu. Di Flores, selama berbulan-bulan aku selalu naik bus yang mana di sekitarku ada babi, kambing, ayam, di sampingku orang muntah, di belakangku orang muntah, tapi waktu itu aku tidak mengeluh. Yang kualami sekarang, aku hanya berdesak-desakan masuk ke kereta AC, aku sudah sebegitu emosinya.

Lalu aku teringat sebuah keluarga yang sangat baik yang kukenal di sebuah kota kecil, Lewoleba. Saat itu, sumber daya yang kumiliki sudah dalam keadaan krisis. Uangku sudah hampir habis. Secara fisik, aku juga sudah lelah. Selain itu ada laki-laki Maumere yang menggangguku. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya aku pulang ke Jakarta.

Aku sudah iklas tidak sampai target. Mungkin belum jodohku. Suatu hari nanti mungkin aku bisa menyelesaikan perjalanan ini. Aku bilang ke mba Shierley, hostku, "Mba, aku pulang saja."
"Jangan dulu. Emang target kamu apa?"
"Alor mba."
"Nah, itu dia kamu harus sampai kesana. Emang kapan lagi kamu kesini?"
"Gak tahu mba. Walaupun aku janji mau datang lagi, tapi kemungkinan besar gak akan datang lagi."
"Pengen kesana gak?"
"Pengen mba. Pengen banget. Udah lama banget pengen kesana."
"Asina, gimanapun caranya kamu harus kesana. Dan lagi, kalau kamu mau datang lagi kesini itu pasti masih lama lagi, bertahun-tahun lagi."
"Iya sih mba."
"Asina, kamu ga boleh menyerah sekarang. Kamu harus sampe kesana karena itu target kamu. Kamu tenang saja disitu. Saya yang akan cari tahu jadwal kapal kesana."
Dengan lirih kujawab, "Iya mba."

Delapan hari kemudian, aku sudah berada di atas kapal menuju Kalabahi, ibu kota Alor. Aku sampai menangis karena merindukan keluarga yang sangat baik itu. Ketika aku sudah menyerah untuk menyelesaikan apa yang sudah kumulai, lalu ada orang lain yang membantuku untuk menyelesaikannya sampai akhir.

Seorang temanku mengatakan begini: kau sudah menggerutu terus-menerus, sudah menangis, sudah bersedih, semua itu sudah harus berakhir hari ini, sudah saatnya untuk bangkit kembali.

Comments

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

[Bahasa Italia] Kata Sifat