15> Liburan telah berakhir
Tak berasa, masa cutiku sudah habis. Liburanku telah selesai. Satu setengah minggu berlibur di Lombok dan Bali ternyata masih kurang (dasar aku saja yang malas pulang ^_^).
Hari terakhirku di Bali, aku dan temanku menikmati kebersamaan kami dengan jalan-jalan di Ubud Center. Untuk terakhir kalinya. Setelah ini, entah kapan kami bisa ketemu lagi.
Dari awal kami ketemu di Ubud Center, bahkan sampai aku akan meninggalkan Ubud, kami masih belum bosan dengan topik pembicaraan mengenai laki-laki. Temanku selalu merasa aku dengan mudahnya memikat pria di sekitarku. Padahal menurutku mungkin saja pria itu terpikat kepada temanku, bukan diriku. Seperti tadi pagi, ada beberapa laki-laki bule berdiri tidak jauh dari kami dan terus melihat ke arah kami. Tiba-tiba temanku bilang begini, "Emang dasar kau ya. Pesonamu selalu bisa memikat laki-laki." Aku lalu tertawa. Mungkin saja sebenarnya laki-laki itu sedang terpesona melihat temanku.
Ada kejadian serupa beberapa hari yang lalu di depan Circle K, ada dua orang pria memanggil kami. Kutanya temanku apakah menerima ajakan mereka. Temanku bilang tidak. Lalu kubilang ke temanku sebaiknya diiyakan saja, paling hanya minum, ngobrol-ngobrol setelah itu pamit pulang. Temanku tetap bilang tidak. Temanku bingung kenapa dua pria bule itu memanggil kami. Lalu kukatakan bahwa tadi memang salah satunya berpapasan denganku. Aku senyum kepadanya lalu dia senyum kepadaku. Mungkin saat ini dia ingin mengajak kenalan. Lalu temanku pun langsung mengomel bahwa ini semua terjadi karena pesonaku.
Aku sudah beli tiket shuttle bus ke bandara untuk keberangkatan jam 1 siang. Berhubung karena sekarang sudah jam 12, kami pun beranjak pulang. Temanku menelepon Wayan, sopir taksi yang kami naiki tadi.
"Gimana mba, puas belanjanya?"
"Puas bli. Bli tadi lama nunggu ya?"
"Engga kok."
"Bli, tadi itu upacara apa ya?"
"Oh itu mba. Bulan lalu ada yang meninggal. Jadi tadi itu sembahyang untuk arwah yang udah meninggal."
"Maksudnya semacam peringatan kematian gitu ya bli?"
"Iya mba. Kalau orang yang meninggal itu kan harus selalu kita doakan supaya rohnya damai dan sampai ke surga."
"Bli susah ga sih kalau mau jadi orang Bali?"
"Sebenarnya ga susah mba. Tergantung dari kitanya juga. Kita disini kan pake sistem banjar. Jadi kalau ada orang yang mau jadi orang Bali, harus masuk ke kartu keluarga yang sudah terdaftar."
"Bli ada upacaranya ga sih kalau mau jadi orang Bali?"
"Ada mba. Harus ada."
"Bli, lebih gampang mana kalau mau jadi orang Bali? Apa harus nikah dulu sama orang Bali?"
"Memang mba, lebih gampang kalau nikah dulu ama orang Bali. Karena disini kan mba, yang perempuan harus ikut ama suaminya."
"Oh gitu ya bli. Kebetulan bli, teman saya ini pengen jadi orang Bali. Makanya dia datang kesini karena mo nyari jodoh orang Bali." (Busyet dah, kenapa aku lagi yang kena *pasang muka datar*)
"Sama saya aja mba. Saya belum menikah. Masih single."
"Tapi kan bli ga bisa secepat itu juga. Harus kenalan dulu."
"Ya udah mba. Sekarang saya kan udah disini. Ayo ngobrol-ngobrol dulu!"
"Yahhhh, tapi sebentar lagi teman saya ini mau balik ke Jakarta bli."
"Penerbangan jam berapa?"
"Penerbangan jam 5 sih bli. Tapi shuttlenya jam 1 berangkat."
"Tapi kan masih ada waktu untuk ngobrol-ngobrol?!"
Aku hanya diam dan menyimak obrolan mereka. Aku tidak tahu harus menyela atau berkata apa. Setelah sampai di depan rumah. Aku langsung turun dari mobil. Kudengar temanku tanya ongkos taksi, "Bli, jadinya berapa semuanya ama yang tadi?"
"Udah mba, ga usah dibayar."
"Waduh bli, jangan gitu. Jadi ga enak nih."
"Oh, gpp kok mba. Kita kan teman. Lain kali klo butuh tumpangan, telepon saja saya."
"Ok deh bli. Makasih banyak ya."
"Oh ya mba, kenapa dia langsung pergi ya?! Padahal kan masih ada waktu ngobrol-ngobrol?!"
"Hehe... iya ya bli. Tapi gpp kan bli. Oh ya bli makasih banyak ya."
"Ok mba."
Sudah jam 1 lewat, tapi bapak yang berjanji akan menjemputku belum datang juga. Waduh bagaimana ini, mana lagi dari Ubud ke bandara itu jauh sekali. Aku berusaha menelepon tapi tidak ada yang angkat. Lalu pada akhirnya ada suara seorang wanita yang menjawab. Temanku tanya kok belum dijemput. Lalu ibu ini mengatakan bahwa shuttlenya sudah pergi dan suaminya tadi sudah pergi menjemput tapi tidak ada orang. Temanku dengan nada marah bilang dari jam 12 kami sudah nunggu di depan rumah.
Aku memutuskan mendatangi loket shuttlenya. Aku jelaskan ke si ibu tersebut bahwa aku sudah bayar dan aku sudah menunggu di depan rumah dari jam 12. Si ibu dengan sangat marah bilang kalau suaminya sudah dua kali pergi dan tidak ada orang. Lalu aku tanya bagaimana dengan uang 55 ribu yang sudah aku bayar. Si ibu bilang kalau kesalahan dari tamunya, uang tidak dikembalikan. Aku ngotot aku tidak salah karena aku memang sudah menunggu di depan rumah dari jam 12.
Tiba-tiba si ibu ini ngomong begini, "Kamu orang Jawa ya?"
Dengan nada ragu-ragu kujawab, "Iya...."
Secepat kilat dia membalas, "Pantas!!!"
"Emang kenapa dengan orang Jawa bu?"
Dia diam.
"Emang kenapa dengan orang Jawa?"
Dia diam saja lalu pergi. Aku juga jadi malas berbicara dengan ibu tersebut. Kepalaku pusing kalau berbicara dengan orang yang sedang marah. Dan lagi ketika aku bilang satu kata, dia balas dengan seribu kalimat penuh amarah.
Aku berdiri di trotoar, lalu si ibu muncul dan berteriak-teriak. Aduh, si ibu ini tidak malu berteriak-teriak di jalan raya. Kalau saja ada sekop, aku sudah menggali lubang dan masuk ke dalamnya. Semua orang melihat kami bahkan tamu-tamu yang sedang duduk santai di cafe sebelah berdiri hanya mau melihat apa yang terjadi.
Sebaiknya aku menunggu suaminya. Katanya sih sebentar lagi akan datang. Tak lama kemudian suaminya datang. Aku langsung jelaskan bahwa aku sudah menunggunya dari jam 12 di depan rumah. Dan bapak ini bilang dia juga cukup lama menungguku di rumah makan padang. Beberapa hari yang lalu ketika aku beli tiket, aku jelaskan kepada si bapak ini bahwa rumahku dekat dengan rumah makan padang. Dan si bapak ini berpikir bahwa aku akan menunggu di rumah makan padang. Mungkin memang si bapak ini mengatakan akan menjemput di rumah makan padang, tapi bahasa Indonesianya yang masih sangat kental dengan logat Bali kurang bisa kupahami, makanya kupikir kami sepakat aku akan menunggu di depan rumah.
Lalu aku tanya bagaimana nasibku. Dia jelaskan bahwa kalau sudah jam segini tidak ada lagi shuttle maupun bus Perama. Satu-satunya cara ke bandara adalah naik taksi. Aku tanya berapa. 250 ribu. Alamak.
Aku tawar 180 ribu. Karena kasihan dan pada dasarnya bapak ini memang orang yang sangat baik, dia bilang ok. Uangku yang 55 ribu dikembalikan diiringi dengan omelan istrinya. Berkali-kali si bapak mohon maaf kepadaku karena sifat istrinya yang pemarah. Dan berkali-kali juga dia mengatakan untuk tidak mendengarkan omelan istrinya.
Si bapak berkali-kali meyakinkanku bahwa aku tidak akan ketinggalan pesawat. Kalau aku naik taksi, aku akan tiba pukul 3 di bandara, jadi aku masih punya waktu 2 jam untuk check-in.
Di dalam taksi, untuk memecahkan keheningan, aku meminta sopirnya untuk memutar lagu-lagu Bali. Di sepanjang perjalanan menuju bandara, kami membicarakan banyak hal.
Bli Nyoman, sopir taksi ini, bercerita bahwa beberapa tahun yang lalu dia mengalami sakit di bagian otaknya. Dia jual rumah dan tanah untuk biaya pengobatan. Tiba-tiba tunangannya meninggalkannya dan menikah dengan orang lain.
"Mba pasti udah punya pacar kan?"
"Hehe..."
"Saya itu mba sering cemburu kalau bawa tamu yang lagi liburan ama pasangannya. Dalam hati saya, saya pun ingin sekali punya pasangan. Ngomong-ngomong mba kenapa sendiri aja? Kok ga sama pacarnya?"
"Iya nih bli, sendiri aja. Saya lagi berkunjung ke rumah teman lama saya di Sayan."
"Oh..."
Ketika berpisah di bandara, bli Nyoman bilang, "Mba, lain kali kalau liburan jangan sendiri ya! Harus ama pacarnya!"
"Iya bli. Bli, makasih banyak ya. Semoga kebahagian datang ke hidup bli ya."
"Hati-hati di jalan ya mba. Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa bli."
Tadi ketika si bli mengatakan dia sering kali cemburu melihat tamunya yang berlibur bersama pasangannya, ingin rasanya kukatakan padanya aku pun begitu. Di gili Trawangan, setiap kali melihat pasangan-pasangan yang sedang berjemur di pantai atau sedang bergandengan tangan di jalan, aku cemburu. Aku cemburu. Aku juga cemburu, bli.
Aku sebenarnya sedang patah hati. Cinta pertamaku pergi kuliah ke luar negeri. Dia tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Temannya yang memberitahuku sehari setelah dia pergi. Pria inilah yang menjadi salah satu alasan yang membuatku berada di Bali sekarang. Aku ingin melupakannya. Tidak. Tidak. Aku tidak ingin melupakannya. Aku ingin menjadikannya kenangan terindah tapi ketika mengenangnya dadaku tidak merasa sakit lagi.
Sambil duduk menunggu boarding yang tidak akan lama lagi, benakku terus dipenuhi kejadian-kejadian yang kualami dua minggu terakhir. Aku ingin pulang tapi aku juga masih ingin berlibur lebih lama lagi.
Hari terakhirku di Bali, aku dan temanku menikmati kebersamaan kami dengan jalan-jalan di Ubud Center. Untuk terakhir kalinya. Setelah ini, entah kapan kami bisa ketemu lagi.
Dari awal kami ketemu di Ubud Center, bahkan sampai aku akan meninggalkan Ubud, kami masih belum bosan dengan topik pembicaraan mengenai laki-laki. Temanku selalu merasa aku dengan mudahnya memikat pria di sekitarku. Padahal menurutku mungkin saja pria itu terpikat kepada temanku, bukan diriku. Seperti tadi pagi, ada beberapa laki-laki bule berdiri tidak jauh dari kami dan terus melihat ke arah kami. Tiba-tiba temanku bilang begini, "Emang dasar kau ya. Pesonamu selalu bisa memikat laki-laki." Aku lalu tertawa. Mungkin saja sebenarnya laki-laki itu sedang terpesona melihat temanku.
Ada kejadian serupa beberapa hari yang lalu di depan Circle K, ada dua orang pria memanggil kami. Kutanya temanku apakah menerima ajakan mereka. Temanku bilang tidak. Lalu kubilang ke temanku sebaiknya diiyakan saja, paling hanya minum, ngobrol-ngobrol setelah itu pamit pulang. Temanku tetap bilang tidak. Temanku bingung kenapa dua pria bule itu memanggil kami. Lalu kukatakan bahwa tadi memang salah satunya berpapasan denganku. Aku senyum kepadanya lalu dia senyum kepadaku. Mungkin saat ini dia ingin mengajak kenalan. Lalu temanku pun langsung mengomel bahwa ini semua terjadi karena pesonaku.
Aku sudah beli tiket shuttle bus ke bandara untuk keberangkatan jam 1 siang. Berhubung karena sekarang sudah jam 12, kami pun beranjak pulang. Temanku menelepon Wayan, sopir taksi yang kami naiki tadi.
"Gimana mba, puas belanjanya?"
"Puas bli. Bli tadi lama nunggu ya?"
"Engga kok."
"Bli, tadi itu upacara apa ya?"
"Oh itu mba. Bulan lalu ada yang meninggal. Jadi tadi itu sembahyang untuk arwah yang udah meninggal."
"Maksudnya semacam peringatan kematian gitu ya bli?"
"Iya mba. Kalau orang yang meninggal itu kan harus selalu kita doakan supaya rohnya damai dan sampai ke surga."
"Bli susah ga sih kalau mau jadi orang Bali?"
"Sebenarnya ga susah mba. Tergantung dari kitanya juga. Kita disini kan pake sistem banjar. Jadi kalau ada orang yang mau jadi orang Bali, harus masuk ke kartu keluarga yang sudah terdaftar."
"Bli ada upacaranya ga sih kalau mau jadi orang Bali?"
"Ada mba. Harus ada."
"Bli, lebih gampang mana kalau mau jadi orang Bali? Apa harus nikah dulu sama orang Bali?"
"Memang mba, lebih gampang kalau nikah dulu ama orang Bali. Karena disini kan mba, yang perempuan harus ikut ama suaminya."
"Oh gitu ya bli. Kebetulan bli, teman saya ini pengen jadi orang Bali. Makanya dia datang kesini karena mo nyari jodoh orang Bali." (Busyet dah, kenapa aku lagi yang kena *pasang muka datar*)
"Sama saya aja mba. Saya belum menikah. Masih single."
"Tapi kan bli ga bisa secepat itu juga. Harus kenalan dulu."
"Ya udah mba. Sekarang saya kan udah disini. Ayo ngobrol-ngobrol dulu!"
"Yahhhh, tapi sebentar lagi teman saya ini mau balik ke Jakarta bli."
"Penerbangan jam berapa?"
"Penerbangan jam 5 sih bli. Tapi shuttlenya jam 1 berangkat."
"Tapi kan masih ada waktu untuk ngobrol-ngobrol?!"
Aku hanya diam dan menyimak obrolan mereka. Aku tidak tahu harus menyela atau berkata apa. Setelah sampai di depan rumah. Aku langsung turun dari mobil. Kudengar temanku tanya ongkos taksi, "Bli, jadinya berapa semuanya ama yang tadi?"
"Udah mba, ga usah dibayar."
"Waduh bli, jangan gitu. Jadi ga enak nih."
"Oh, gpp kok mba. Kita kan teman. Lain kali klo butuh tumpangan, telepon saja saya."
"Ok deh bli. Makasih banyak ya."
"Oh ya mba, kenapa dia langsung pergi ya?! Padahal kan masih ada waktu ngobrol-ngobrol?!"
"Hehe... iya ya bli. Tapi gpp kan bli. Oh ya bli makasih banyak ya."
"Ok mba."
Sudah jam 1 lewat, tapi bapak yang berjanji akan menjemputku belum datang juga. Waduh bagaimana ini, mana lagi dari Ubud ke bandara itu jauh sekali. Aku berusaha menelepon tapi tidak ada yang angkat. Lalu pada akhirnya ada suara seorang wanita yang menjawab. Temanku tanya kok belum dijemput. Lalu ibu ini mengatakan bahwa shuttlenya sudah pergi dan suaminya tadi sudah pergi menjemput tapi tidak ada orang. Temanku dengan nada marah bilang dari jam 12 kami sudah nunggu di depan rumah.
Aku memutuskan mendatangi loket shuttlenya. Aku jelaskan ke si ibu tersebut bahwa aku sudah bayar dan aku sudah menunggu di depan rumah dari jam 12. Si ibu dengan sangat marah bilang kalau suaminya sudah dua kali pergi dan tidak ada orang. Lalu aku tanya bagaimana dengan uang 55 ribu yang sudah aku bayar. Si ibu bilang kalau kesalahan dari tamunya, uang tidak dikembalikan. Aku ngotot aku tidak salah karena aku memang sudah menunggu di depan rumah dari jam 12.
Tiba-tiba si ibu ini ngomong begini, "Kamu orang Jawa ya?"
Dengan nada ragu-ragu kujawab, "Iya...."
Secepat kilat dia membalas, "Pantas!!!"
"Emang kenapa dengan orang Jawa bu?"
Dia diam.
"Emang kenapa dengan orang Jawa?"
Dia diam saja lalu pergi. Aku juga jadi malas berbicara dengan ibu tersebut. Kepalaku pusing kalau berbicara dengan orang yang sedang marah. Dan lagi ketika aku bilang satu kata, dia balas dengan seribu kalimat penuh amarah.
Aku berdiri di trotoar, lalu si ibu muncul dan berteriak-teriak. Aduh, si ibu ini tidak malu berteriak-teriak di jalan raya. Kalau saja ada sekop, aku sudah menggali lubang dan masuk ke dalamnya. Semua orang melihat kami bahkan tamu-tamu yang sedang duduk santai di cafe sebelah berdiri hanya mau melihat apa yang terjadi.
Sebaiknya aku menunggu suaminya. Katanya sih sebentar lagi akan datang. Tak lama kemudian suaminya datang. Aku langsung jelaskan bahwa aku sudah menunggunya dari jam 12 di depan rumah. Dan bapak ini bilang dia juga cukup lama menungguku di rumah makan padang. Beberapa hari yang lalu ketika aku beli tiket, aku jelaskan kepada si bapak ini bahwa rumahku dekat dengan rumah makan padang. Dan si bapak ini berpikir bahwa aku akan menunggu di rumah makan padang. Mungkin memang si bapak ini mengatakan akan menjemput di rumah makan padang, tapi bahasa Indonesianya yang masih sangat kental dengan logat Bali kurang bisa kupahami, makanya kupikir kami sepakat aku akan menunggu di depan rumah.
Lalu aku tanya bagaimana nasibku. Dia jelaskan bahwa kalau sudah jam segini tidak ada lagi shuttle maupun bus Perama. Satu-satunya cara ke bandara adalah naik taksi. Aku tanya berapa. 250 ribu. Alamak.
Aku tawar 180 ribu. Karena kasihan dan pada dasarnya bapak ini memang orang yang sangat baik, dia bilang ok. Uangku yang 55 ribu dikembalikan diiringi dengan omelan istrinya. Berkali-kali si bapak mohon maaf kepadaku karena sifat istrinya yang pemarah. Dan berkali-kali juga dia mengatakan untuk tidak mendengarkan omelan istrinya.
Si bapak berkali-kali meyakinkanku bahwa aku tidak akan ketinggalan pesawat. Kalau aku naik taksi, aku akan tiba pukul 3 di bandara, jadi aku masih punya waktu 2 jam untuk check-in.
Di dalam taksi, untuk memecahkan keheningan, aku meminta sopirnya untuk memutar lagu-lagu Bali. Di sepanjang perjalanan menuju bandara, kami membicarakan banyak hal.
Bli Nyoman, sopir taksi ini, bercerita bahwa beberapa tahun yang lalu dia mengalami sakit di bagian otaknya. Dia jual rumah dan tanah untuk biaya pengobatan. Tiba-tiba tunangannya meninggalkannya dan menikah dengan orang lain.
"Mba pasti udah punya pacar kan?"
"Hehe..."
"Saya itu mba sering cemburu kalau bawa tamu yang lagi liburan ama pasangannya. Dalam hati saya, saya pun ingin sekali punya pasangan. Ngomong-ngomong mba kenapa sendiri aja? Kok ga sama pacarnya?"
"Iya nih bli, sendiri aja. Saya lagi berkunjung ke rumah teman lama saya di Sayan."
"Oh..."
Menuju bandara Ngurah Rai |
"Iya bli. Bli, makasih banyak ya. Semoga kebahagian datang ke hidup bli ya."
"Hati-hati di jalan ya mba. Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa bli."
Tadi ketika si bli mengatakan dia sering kali cemburu melihat tamunya yang berlibur bersama pasangannya, ingin rasanya kukatakan padanya aku pun begitu. Di gili Trawangan, setiap kali melihat pasangan-pasangan yang sedang berjemur di pantai atau sedang bergandengan tangan di jalan, aku cemburu. Aku cemburu. Aku juga cemburu, bli.
Aku sebenarnya sedang patah hati. Cinta pertamaku pergi kuliah ke luar negeri. Dia tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Temannya yang memberitahuku sehari setelah dia pergi. Pria inilah yang menjadi salah satu alasan yang membuatku berada di Bali sekarang. Aku ingin melupakannya. Tidak. Tidak. Aku tidak ingin melupakannya. Aku ingin menjadikannya kenangan terindah tapi ketika mengenangnya dadaku tidak merasa sakit lagi.
Sambil duduk menunggu boarding yang tidak akan lama lagi, benakku terus dipenuhi kejadian-kejadian yang kualami dua minggu terakhir. Aku ingin pulang tapi aku juga masih ingin berlibur lebih lama lagi.
Comments
Post a Comment