13> Belanja murah di Pasar Seni Sukawati

Dalam perjalanan menuju Sukawati, ibu-ibu yang duduk di depan kami mengajak ngobrol.

"Dari mana?"
"Dari Jakarta bu."
"Punya keluarga disini?"
"Ga punya bu."
"Trus ngapain disini?"
"Kalau dia kerja disini. Kalau saya lagi liburan disini."
"Menikah aja ama orang sini?!"
"Waduh bu... takutnya orang sini yang ga mau ama kami."
"Kalau memang mau ama orang Bali, pasti nanti bisa ketemu disini. Ada teman kalian dari Jakarta yang menikah ama orang sini."
"Siapa namanya bu?"
"Happy Salma. Dia sering main sinetron."
"Ohhh...." (Padahal ga begitu kenal siapa Happy Salma ini. Maklumlah jarang nonton sinetron ama infoteimen .)

Tiba-tiba temanku menyelutuk, "Bu, teman saya ini lagi nyari orang Bali." (Apaaaa? Kapan aku bilang lagi nyari orang Bali?)
"Bagus... mudah-mudahan nanti dapat jodoh orang sini ya!"
"Oh ya bu, kalau menikah ama orang Bali, berarti yang cewenya jadi orang Bali dong ya?"
"Iya jadi orang Bali. Kan udah menikah ama orang Bali."
"Susah ga sih bu kalau mau jadi orang Bali? Kata teman saya harus ada upacaranya."
"Kalau mau masuk jadi orang Bali memang harus ada upacaranya."
"Bu, ada ga ya yang mau dijodohin ama teman saya ini?"
"Beneran?"

Aku: "Hehe... kita lihat nanti saja ya bu."

"Bu, ngomong-ngomong Happy Salma ini nikah ama orang Ubud ya?"
"Iya, suaminya orang Ubud."
"Siapa nama suaminya bu?"
"Tjokorda. Mereka itu orang kaya disini. Mereka punya banyak villa disini."
"Trus Happy Salma ini udah masuk jadi orang Bali dong ya bu?"
"Iya, kalau udah punya nama Bali pasti udah jadi orang Bali."
"Bu, kalau mau jadi orang Bali, apakah harus jadi Hindu juga?"
"Haruslah. Kalau laki-lakinya orang Bali, trus perempuannya bukan Bali. Kalau mereka menikah, yang perempuan harus ikut suami."
"Jadi bu, kalau teman saya ini menikah ama orang Bali, dia jadi orang Bali dong ya bu?!" (Lagi lagi aku. Hadeuhhhh....)
"Iya harus jadi orang Bali. Disini, aturannya seperti itu. Perempuan harus ikut ama suaminya."

"Kalian mau kemana?"
"Ke pasar Sukawati."
"Oh, mobil ini ga ke Sukawati. Nanti turun aja di pertigaan, trus naik mobil yang warna merah. Bilang aja 'Sukawati'."
"Oh gitu ya bu. Makasih ya."

Pasar Seni Sukawati
Akhirnya kami sampai juga di Sukawati. Temanku adalah seorang pecinta seni. Sementara aku tidak memiliki sedikit pun darah seni. Di pasar seni temanku selalu mengagumi patung-patung atau ukir-ukiran yang dipajang di toko-toko. "Ini bagus ya. Itu bagus ya." Dan aku selalu menanggapinya dengan "Iya bagus" walaupun aku sebenarnya tidak mengerti dimana letak bagusnya.

Saat berbelanja, kami kalap melihat harganya yang murah meriah. Kaos bali dijual 10 ribu per biji. Aku pun langsung beli 6 biji.

Di bagian pernak pernik, temanku langsung bersemangat. Temanku suka memakai perhiasan. Sementara aku tidak pernah memakai perhiasan. Walaupun aku selalu melihat orang yang memakai perhiasan kelihatan bagus, tapi aku tidak pernah berminat memakainya.

Ketika temanku sibuk memilih-milih perhiasan, aku pun duduk menunggunya. Aku merasa lelah setelah tadi keliling di toko-toko jual baju.

Iseng-iseng aku melihat-lihat cincin yang terbuat dari manik-manik. Si ibu penjual langsung bilang dia akan kasih 5 ribu untuk dua biji. Aku langsung bersemangat memilih-milih cincin. Lalu aku beli dua. Aku tidak mau beli banyak karena aku tahu aku tidak akan pernah memakainya. [Hingga saat ini, cincin yang aku beli hanya beberapa kali aku pakai.]

Temanku beli banyak perhiasan. Dia beli empat cincin, tiga kalung seharga 10 ribu, beberapa gelang dengan harga bervariasi. Oh ya, aku juga beli ikat pinggang yang terbuat dari manik-manik seharga 10 ribu.

Setelah puas belanja dan jalan-jalan di pasar seni, kami memutuskan untuk pulang. Lama sekali kami baru dapat bis yang menuju Ubud. Jalan-jalan di Bali benar-benar menguji iman dan kesabaran.

Lalu kami diturunkan di pertigaan Sakah (entah dimana ini?). Sopirnya bilang mobilnya tidak menuju Ubud, jadi kami harus menunggu mobil yang menuju Ubud. Sekali lagi iman dan kesabaran kami sedang diuji.

Lama sekali baru ada bis yang menuju Ubud. Ketika tadi kami sedang menunggu, seorang ibu tanya tinggal dimana di Ubud? Di Sayan. Trus ditanya lagi kesana biasanya naik apa? Naik taksi. Berapa bayarnya kalau naik taksi? 35 ribu.

Di bis, si ibu ini ngomong pakai bahasa Bali kepada sopirnya. Lalu sopirnya tanya bagaimana kalau kami bayar 60 ribu diantar sampai rumah. Ketika temanku mencoba menawar harganya, sopirnya bilang memang segitu tarifnya, daripada turun di Ubud Center lalu cari taksi lagi. Dia juga bilang dia akan mengantar si ibu dan kebetulan akan melewati Sayan. Dia mempertegas bahwa si ibu ini adalah bibinya. Entah apa maksudnya?

Lalu setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami pun mengiyakan tawaran tersebut. Menurutku, harga yang ditawarkan terlalu mahal. Kalau kami naik taksi dari Ubud Center tarifnya 35 ribu tapi sudah ada AC nya dan tempat duduknya nyaman. Tapi ya sudahlah, toh kami sudah sepakat naik bis ini ke rumah temanku. Hari ini sangat melelahkan terutama karena terlalu lama menunggu angkutan umum ditambah cuaca yang panas.

Setelah dihitung-hitung, biaya yang kami keluarkan untuk transportasi lebih mahal dibandingkan yang kami habiskan untuk belanja.

Comments

  1. Klo ke Bali mending sewa motor aja bu, lebih murah jatuhnya.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai komang... iya kepikiran juga tuh naik motor. makanya sepertinya aku harus belajar naik motor nih :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

Setahun Setelah Keliling Indonesia