9> Tragedi di Senggigi

Di pelabuhan, aku berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang kutemui kemarin, pria yang tidak pernah melihat sedikit pun padaku. Bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Sambil menunggu kapal akan berangkat, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Jika dia muncul di hadapanku, apa yang akan kulakukan? Apakah aku punya keberanian untuk mengajaknya ngobrol dan mengatakan bahwa aku temannya Krey dan kita ketemu kemarin. Ah, bagaimana kalau kami tidak bertemu lagi? Hatiku terasa sakit. Bagaimana ini, masakan aku patah hati lagi?

Mataku berusaha mencari-cari sosoknya di sekitar pelabuhan. Aku tidak ingin ada penyesalan lagi dalam hidupku. Aku benar-benar akan datang kepadanya dan mengatakan bahwa dia mirip ayahku, sangat mirip. Aku juga akan bilang bahwa aku menyukainya. Kemiripannya dengan ayahku membuat dadaku sesak. Aku merindukan ayahku.

Sambil menunggunya (emang kami sudah janjian?), aku memperhatikan banyak sekali pasangan yang sedang berlibur di pulau ini. Mungkin karena bertepatan dengan Hari Kasih Sayang, makanya pasangan-pasangan dari seluruh dunia memanfaatkan momen ini untuk berlibur bersama. Tiba-tiba aku teringat kepada cintaku yang telah pergi. Apakah dia tahu hari ini adalah Hari Kasih Sayang? Apakah dia mengingatku di hari ini? Mungkin dia sudah melupakanku. Mungkin hanya aku sendiri yang tak bisa melupakannya.

Petugas pelabuhan mengumumkan bahwa yang sudah membeli tiket bersiap-siap masuk ke dalam kapal. Aku berusaha mencari sosoknya lagi untuk yang terakhir kalinya. Sampai akhirnya kapal berangkat, aku tidak juga melihatnya lagi. Mungkin kami memang tidak berjodoh. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa Tuhan pun tidak mengizinkan kami bertemu lagi.

Selamat tinggal Gili Trawangan. Suatu hari nanti aku ingin datang kesini lagi. Entah kapan.

Aku ingin memfokuskan diriku pada liburanku. Aku begitu bersemangat saat ini. Tujuanku berikutnya adalah Senggigi. Aku pernah bilang bahwa Senggigi adalah one of places I have to visit before I die.

Seorang sahabatku menyindirku karena aku menulis kalimat tersebut di status Facebook-ku. Katanya aku seolah-olah tidak punya iman, makanya aku ingin mati. Aku jadi bingung, rasanya sulit menjelaskan kepadanya bahwa itu adalah kalimat yang sudah sangat umum. Kalimat tersebut tidak mengandung pesan kematian.

Di Pemenang, aku bertanya pada tukang cidomo yang kunaiki apakah ada bus dari Pemenang menuju Senggigi. Dan jawabannya tidak ada. Jadi pilihanku satu-satunya adalah naik ojek. Aku sempat bercanda kepada tukang cidomonya bagaimana jika aku naik cidomo saja ke Senggigi, dan tukang cidomo pun bilang kasihan kudanya kalau jalan terlalu jauh dan lagi jalannya berbukit, tidak mungkin kuda sanggup hingga tiba di Senggigi.

Tukang cidomo menawarkanku untuk naik ojek saudaranya. Bagiku sih tidak masalah, yang penting sepakat mengenai tarifnya. Tukang ojeknya bernama Marwan. Aku bilang padanya bahwa aku ingin diantar ke penginapan murah di Senggigi. Sepanjang jalan menuju Senggigi, aku disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Di sebelah kananku, aku melihat hamparan pantai berpasir putih, pohon kelapa, persawahan, dan degradasi warna biru laut Lombok yang bagus sekali.

Jalan menuju Senggigi
Aku lupa bagaimana kejadiannya karena sepertinya waktu itu aku sedang terhanyut menikmati pemandangan kiri dan kananku. Tiba-tiba motor yang kunaiki menabrak motor lain yang ingin memutar balik. Gadis muda yang membawa motor tersebut terluka dan kemudian dia dibawa ke puskesmas. Aku disuruh ikut. Aku bingung, apa urusannya denganku? Toh itu bukan motorku? Dan bukan aku yang membawanya?

Aku bilang ke mereka, aku ini hanyalah seorang turis, jadi aku tidak perlu ikut. Tapi mereka memaksaku ikut. Aku mencium aroma sepertinya aku bakalan diperas karena kejadian ini. Ini bukan daerahku dan aku tidak tahu budaya lokal disini. Aku pribadi keukeuh merasa tidak bersalah. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa.

Aku sangat kesal kenapa hal ini bisa terjadi? Seharusnya tadi aku mengingatkan tukang ojeknya untuk melaju lebih lambat. Namun, nasi sudah menjadi bubur dan sudah ada korban luka. Yang paling tidak bisa aku terima adalah kenapa aku dilibatkan disini. Liburanku yang menyenangkan pun berubah jadi mimpi buruk.

Di dalam mobil pick up menuju puskesmas, sopirnya bertanya padaku apa yang kulakukan disini. Aku bilang aku sedang liburan. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa aku disuruh ikut, seharusnya ini urusan korban ama tukang ojek. Di depan korban, aku sampaikan semua uneg-unegku. Seharusnya gadis itu juga lihat ke arah kanannya jika ingin memutar balik. Aku lihat dengan pasti bahwa dia hanya melihat ke arah kiri. Aku bilang juga aku kesal sekali padanya, karena dia tidak berhati-hati ama nyawanya.

Di puskesmas, gadis tersebut langsung ditangani oleh dokter. Tidak lama kemudian, keluarga korban datang. Aku diajak berbicara empat mata dengan abang korban. Dia bilang sebaiknya kejadian ini diselesaikan secara kekeluargaan daripada harus ke polisi. Aku bisa kena penjara. Aku tetap berkeras ini semua tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, jadi kalau mau lapor polisi juga percuma. Karena tidak berhasil mengajukan "jalan damai", dia pergi.

Setelah gadis tersebut selesai diobati oleh dokter, dia akan dibawa pulang. Supir pick up mengajakku kembali ke Senggigi. Kubilang, liburanku sudah menjadi mimpi buruk, aku ingin kembali ke Bali, aku sudah tidak ingin di Lombok ini lagi. Hari ini juga aku ingin kembali ke Bali. Lalu kusamperin si korban, "Maaf, aku ga tau kenapa bisa jadi begini. Aku benar-benar ga merasa bersalah. Dan kamu juga klo mo mutar balik, liat kiri ama kanan. Maaf, ga ada yang bisa aku perbuat buat kamu. Tapi aku benar-benar berharap kamu sembuh secepatnya. Pokoknya aku benar-benar berharap kamu sembuh."

Abang korban menyuruhku mempertimbangkan lagi "jalan damai" yang dia ajukan daripada harus berurusan dengan polisi. Aku bilang dengan tegas, saya tidak takut perkara ini dibawa ke polisi. Jadi silahkan saja dibawa ke kantor polisi. Aku benar-benar yakin tidak mungkin aku masuk penjara karena aku bukan pelaku. Dia mengaku abang si korban tapi tak sekali pun dia bertanya bagaimana keadaan korban. Aku juga tidak melihatnya dia masuk ke ruangan puskesmas untuk melihat kondisi adiknya.

Tak berapa lama, ada beberapa pemuda yang baru pulang dari sholat jumat. Mereka mengoceh bahwa motor mereka pernah rusak dengan kondisi sama persis seperti ini dan biaya memperbaiki motornya di atas satu juta. Aku ingin sekali mencabik-cabik mulut mereka. Motor itu tidak terlihat rusak parah, hanya ada beberapa bagian yang penyok. Kalau motor itu rusak, bagaimana mungkin motor itu bisa dibawa hingga ke tempat ini? Lagian mereka baru selesai sembahyang, bisa-bisanya mereka berbuat seperti itu. Memprovokasi.

Si abang korban terus menerus bilang daripada di penjara. Terus-menerus juga kukatakan aku tidak punya uang dan tidak takut dibawa ke polisi. Lalu dia bilang bagaimana kalau sebaiknya setengah-setengah, jadi aku bayar 500 ribu. Aku tetap tidak mau. Jalan buntu. Kami saling diam. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tukang ojek mengajukan negosiasi terakhir yaitu kami yang akan membeli bagian motor yang rusak. Mungkin karena mereka sudah cape menakut-nakutiku dan tidak berhasil, mereka pun mengiyakan "jalan damai" yang diajukan tukang ojek.

Bersama seorang pemuda yang katanya adalah adiknya, kami berangkat ke Mataram. Di sebuah toko yang menjual spare part asli, kami disuruh menunggu barang yang kami inginkan diambil dulu dari gudang. Sambil menunggu, aku berdiri di dekat pemuda ini. Dia bilang, "Mba klo sampai masalah ini ke polisi, mba bisa masuk penjara."

Aku sudah letih. Aku cape sekali. Bukan fisik, tapi pikiran. Beberapa jam di puskesmas tadi rasanya seperti berhari-hari. Kali ini aku tidak ingin membalas kata-kata pemuda terebut. Kekuatanku sudah habis untuk berdebat.

Aku bertanya padanya dimana si korban kerja. Dia bilang nama salah satu tempat karaoke di Senggigi.
"Ngomong-ngomong, dia adek kamu atau kakak kamu?"
"Adek."
"Oh dia adek kamu. Dia masih sekolah atau udah lulus?"
"Dia baru lulus SMA."
"Loh dia ga kuliah?"
"Ga mba. Lulus SMA dia langsung kerja."
"Oooo gitu. Sekarang sih aku udah mo balik ke Bali, tapi kemungkinan suatu hari nanti aku bakal liburan ke Senggigi. Entah kapan aku pasti datang lagi, aku kunjungi adek kamu ya di tempat karaoke!"
"Oh boleh mba."
"Salam aja buat adekmu ya. Semoga dia cepat sembuh. Tadi aku udah bilang juga sih ke dia semoga cepat sembuh. Tapi aku memang berharap dia cepat sembuh."
"Iya mba."

Setelah barang yang kami pesan datang, aku bayar ke kasirnya sekitar 100 ribuan. Ya sudahlah, daripada aku bayar 1 juta seperti yang diminta keluarga korban. Aku serahkan barang tersebut kepada pemuda itu. Dia bilang, "Makasih ya mba."
"Jangan lupa sampaikan salamku buat adekmu ya."
"Iya mba."
"Mudah-mudahan suatu hari nanti saya bisa liburan ke Senggigi dan kita bisa ketemu lagi."
"Iya mba."
"Ya udah, hati-hati di jalan ya."
"Saya pamit dulu ya mba."

Tiba-tiba dia berubah jadi lebih bersahabat. Padahal sebelumnya dia selalu mengancam daripada ke polisi. Ya sudahlah, masalah ini sudah berakhir. Tapi aku tetap ingin nyebrang ke Bali.

Comments

  1. Baca blog Asina serasa baca novel... like it!! keep writing ;)

    ReplyDelete
  2. hehe... thanks ayu. aku jg sering baca blog ayu, enak dibaca :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

[Bahasa Italia] Kata Sifat