[Bali] Menemukan Rasa Damai di Desa Pegringsingan
Ketika aku sedang sarapan, Gary datang sambil membawa kopi: May I join you?
Aku: Yes, sure.
Gary: Where you gonna go today?
Aku: Ah, may be to Aga Village as mba Tyo recommended. It's a traditional village.
Gary: If you need information, ask us. We know all about this place very well.
Aku: Yeah, thank you. I think I got enough information from mba Tyo.
Gary: Ya ya. If you get lost, you can ask local people. Ah, you are Indonesian, you will never get lost.
Aku: I hope so.
Demikianlah, sedikit perbincanganku dengan Gary, pemilik tempat penginapanku di Candidasa. Gary sangat ramah, demikian juga istrinya mba Tyo. Ramah dan very helpful.
Ada dua jenis suku Bali, yaitu suku Bali Aga dan suku Bali Majapahit. Suku Bali Aga masih mempertahankan budaya Bali asli, sementara suku Bali Majapahit mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dalam zaman Majapahit dulu.
Salah satu desa yang didiami oleh suku Bali Aga adalah desa Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem. Dan desa ini sudah dikembangkan menjadi objek wisata oleh pemerintah lokal.
Aku naik ojek dan aku bayar 20 ribu ke Pak Wayan. Sebenarnya ongkos 20 ribu ini adalah ongkos pergi dan kembali ke penginapan, tapi sepertinya aku ingin menghabiskan beberapa jam di desa ini sambil menikmati seluk beluk desa. Jadi aku bilang ke Pak Wayan untuk balik duluan, tidak usah menungguku.
Di pintu masuk, kita diminta untuk tulis nama dan sumbangan seiklasnya. Di buku tamu, aku liat banyak sekali orang asing yang berkunjung ke tempat ini.
Penduduk desa hidup dari menjual cinderamata seperti tenun ikat, keranjang, lukisan, dll. Aku pribadi bukan tipikal yang menyukai benda-benda seni. Jadi, aku hanya melihat-lihat saja tanpa berniat membeli.
Dan seperti yang dikatakan mba Tyo, kita tidak akan melihat kemodernan dalam setiap struktur rumah penduduk, malah terkesan seperti rumah di desa pedalaman.
Hal yang paling aku suka di desa ini adalah kesunyiannya. Aku duduk di salah satu balai yang biasa digunakan warga Bali untuk mengadakan pertemuan, dan aku pun menikmati rasa damai dan hening di desa ini. Tidak lama kemudian, ada beberapa wanita datang turut bergabung bersamaku, duduk di balai. Mereka sedang memperbicangkan sesuatu yang seru tapi aku sama sekali tidak mengerti sedikit pun apa yang mereka obrolkan. Mereka menggunakan bahasa daerah.
Setelah lebih kurang 30 menit, aku pun melanjutkan perjalananku menyusuri desa. Aku mengikuti wanita-wanita tadi ke arah bukit.
Aku melihat ada sebuah tulisan 'Have a look. A cold water.' Aku masuk dan aku pun ngobrol-ngobrol dengan si mba yang sedang membuat keranjang. Aku ditawarin sebuah tenun ikat seharga 700 ribu. Haaaaa... aku kaget ternyata harganya semahal itu.
Dengan jujur aku bilang bahwa sebenarnya aku tidak tertarik koleksi barang-barang bagus seperti tenun ikat yang ditawarkan. Dan lagi bagiku (pelancong miskin ini) 700 ribu itu sangat berarti dan merupakan jumlah yang sangat besar. Aku menolak tawaran tersebut dengan sopan. Aku katakan bahwa aku tidak membawa uang sebanyak itu dan memang aku tidak tahu kalau harga tenun ikat sampai sebegitu mahalnya.
Aku pamit dan melanjutkan perjalanan. Di puncak bukit aku hanya melihat pura dan di sebelahnya ada pohon beringin. Kemana wanita-wanita tadi? Lalu, aku pun memutuskan untuk kembali saja ke pusat desa.
Desa ini sebenarnya sangat kecil. Tapi karena aku benar-benar ingin menikmati suasana desa yang begitu hening ini, aku berkeliling-keliling di desa selama 2-3 jam. Ketika aku hendak keluar, aku tertarik melihat lukisan yang digelar di atas meja. Ini bukan lukisan yang menggunakan cat air atau minyak. Si bapak tersebut melukis dengan menggunakan getah entah dari pohon apa di atas kayu lontar. Lukisan yang dihasilkan terkesan unik dan bagus-bagus.
Aku tanya harga lukisan yang paling kecil. Si bapak tersebut mengatakan 300 ribu. Kali ini aku benar-benar syok. Jika aku menawar, harganya pasti tidak akan kurang dari 250 ribu. Dan tetap saja 250 ribu adalah jumlah uang yang sangat besar bagiku.
Sepertinya aku sudah cukup puas berkeliling di desa ini. Aku benar-benar menyukai desa ini.
Aku: Yes, sure.
Gary: Where you gonna go today?
Aku: Ah, may be to Aga Village as mba Tyo recommended. It's a traditional village.
Gary: If you need information, ask us. We know all about this place very well.
Aku: Yeah, thank you. I think I got enough information from mba Tyo.
Gary: Ya ya. If you get lost, you can ask local people. Ah, you are Indonesian, you will never get lost.
Aku: I hope so.
Demikianlah, sedikit perbincanganku dengan Gary, pemilik tempat penginapanku di Candidasa. Gary sangat ramah, demikian juga istrinya mba Tyo. Ramah dan very helpful.
Ada dua jenis suku Bali, yaitu suku Bali Aga dan suku Bali Majapahit. Suku Bali Aga masih mempertahankan budaya Bali asli, sementara suku Bali Majapahit mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dalam zaman Majapahit dulu.
Salah satu desa yang didiami oleh suku Bali Aga adalah desa Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem. Dan desa ini sudah dikembangkan menjadi objek wisata oleh pemerintah lokal.
Aku naik ojek dan aku bayar 20 ribu ke Pak Wayan. Sebenarnya ongkos 20 ribu ini adalah ongkos pergi dan kembali ke penginapan, tapi sepertinya aku ingin menghabiskan beberapa jam di desa ini sambil menikmati seluk beluk desa. Jadi aku bilang ke Pak Wayan untuk balik duluan, tidak usah menungguku.
Pintu masuk ke desa Pegringsingan |
Penduduk desa hidup dari menjual cinderamata seperti tenun ikat, keranjang, lukisan, dll. Aku pribadi bukan tipikal yang menyukai benda-benda seni. Jadi, aku hanya melihat-lihat saja tanpa berniat membeli.
Menjual cinderamata |
Penduduk menolak unsur kemodernan |
Suasana hening |
Aku melihat ada sebuah tulisan 'Have a look. A cold water.' Aku masuk dan aku pun ngobrol-ngobrol dengan si mba yang sedang membuat keranjang. Aku ditawarin sebuah tenun ikat seharga 700 ribu. Haaaaa... aku kaget ternyata harganya semahal itu.
Tenun ikat Teganan |
Aku pamit dan melanjutkan perjalanan. Di puncak bukit aku hanya melihat pura dan di sebelahnya ada pohon beringin. Kemana wanita-wanita tadi? Lalu, aku pun memutuskan untuk kembali saja ke pusat desa.
Desa ini sebenarnya sangat kecil. Tapi karena aku benar-benar ingin menikmati suasana desa yang begitu hening ini, aku berkeliling-keliling di desa selama 2-3 jam. Ketika aku hendak keluar, aku tertarik melihat lukisan yang digelar di atas meja. Ini bukan lukisan yang menggunakan cat air atau minyak. Si bapak tersebut melukis dengan menggunakan getah entah dari pohon apa di atas kayu lontar. Lukisan yang dihasilkan terkesan unik dan bagus-bagus.
Pelukis di kayu lontar |
Sepertinya aku sudah cukup puas berkeliling di desa ini. Aku benar-benar menyukai desa ini.
Comments
Post a Comment