6> Gili Trawangan, cinta pertamaku

Alarmku berdering dan terus berdering tanpa berperikemanusiaan. Hoooaaaaaaaaa... jam berapa sekarang? Jam 5. Ah iya, aku kan ingin lihat matahari terbit. Sebenarnya aku bukanlah pengejar matahari. Bagiku sama saja sebenarnya matahari akan terbit atau tidak jadi terbit. Aku hanya sedikit penasaran ama orang-orang yang rela bangun pagi-pagi atau naik gunung hanya demi mengabadikan momen ini.

Aku bangun dari tempat tidur lalu cuci muka. Baru saja aku selesai cuci muka, hujan turun dengan derasnya. Hmmm, pertanda apa ini? Sepertinya langit sedang tidak berpihak padaku. Ya sudahlah, aku lanjutkan saja tidur (dasar tukang tidur).

Ketika aku terbangun, kubuka jendela dan di luar sudah terang benderang. Aku menggeliat di balik selimutku. Dingin. Aku bersyukur tidak ikut paket tur karena jadwalnya sudah diatur oleh penyelenggaranya.

Aku adalah pelancong mandiri (karena ini yang pertama kalinya, aku ingin dengan penuh percaya diri mengatakannya ^_^). Aku bebas melakukan apapun yang kusuka. Seperti saat ini, rasa malas (tiap saat juga sering malas) sedang hinggap padaku, aku punya pilihan untuk melanjutkan tidur atau tidak. Aku tidak perlu terburu-buru mengejar satu tempat ke tempat yang lain.

Tiba-tiba aku teringat bahwa dari kemarin aku ingin sekali menanyakan berapa harga tur keliling 3 gili soalnya terlalu mahal kalau sendirian sewa kapal. Jika harga paketnya masih terjangkau dompetku, aku ingin sekali ikut. Dan kalau harganya diluar anggaranku, hmmm, aku belum memutuskan apakah aku menikmati pantai saja atau check out lanjut ke Senggigi. Sebaiknya aku bangun dulu, mandi, lalu kemudian aku bisa memutuskan rencana berikutnya.

Anak-anak bersepeda menuju sekolah
Aku melihat rombongan anak-anak sedang naik sepeda berangkat ke sekolah. Sarana transportasi di pulau ini adalah sepeda dan cidomo. Masyarakat telah sepakat untuk tidak memperbolehkan penggunaan kendaraan bermotor. Jadi Gili Trawangan adalah tempat yang benar-benar bebas asap.

Untuk berkeliling pulau dengan cidomo (delman), dikenakan biaya paling murah 100 ribu. Sebenarnya aku ingin sekali mengelilingi pulau ini dengan cidomo, tapi tarifnya akan serta-merta mengosongkan isi dompetku. Naik sepeda aku tidak bisa. Kalau jalan kaki, aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi pulau ini, jangan-jangan dua hari. Ah ya sudahlah, bukankah aku menyukai pulau ini, dan ini bisa menjadi alasanku kembali kesini dan semoga saja pada saat itu aku punya kesempatan mengelilingi pulau ini.

Di pagi yang cerah ini, para pegawai restoran/cafe sudah sibuk bersih-bersih. Nilai jual pulau ini adalah pariwisata dan para pelaku pariwisatanya berusaha membuat supaya para wisatawan betah tinggal dan menghabiskan uang mereka disini.

Aku berjalan saja mengikuti suasana hati (yah namanya juga lagi sendiri dan tak punya rencana) dan tanpa sadar aku kembali lagi ke pantai yang kemarin. Pagi ini, pantai sepi sekali, tidak ada orang disana kecuali sepasang kakek nenek yang baru selesai berenang di laut. Sepertinya semua orang masih tidur. Gili Trawangan terkenal dengan partynya. Turis-turis yang datang kesini ingin berlibur sekaligus bersenang-senang. Setelah semalaman berpesta, tak heran jam segini semua orang masih berada di balik selimutnya.

Pantai pribadiku
Saat ini aku bisa memastikan dan sangat yakin sekali bahwa pantai ini akan benar-benar menjadi pantai pribadiku. Tak ada lagi pengganggu. Aku duduk di atas pasir. Aku merenungi apa yang telah membawaku kesini. Mengapa aku ada disini? Apa yang akan kulakukan di masa yang akan datang? Dan bagaimana aku akan melakukannya?

Ahhh, dadaku sakit sekali. Sakit sekali. Kenapa ibuku pergi secepat itu. Banyak sekali penyesalan dalam hidupku. Aku belum sempat minta maaf untuk semua kenakalan dan kesalahan yang pernah kulakukan di masa remaja. Aku juga belum mengucapkan terima kasih untuk semua kebaikan dan kasih tanpa pamrih yang sudah kuterima sampai aku dewasa. Mom, please, please, don't let me alone. Bawalah aku bersamamu. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan hidupku.

Kenapa? Kenapa? Kenapa ini terjadi, Tuhan...? Aku belum juga mendapatkan jawabannya. Air mataku tak henti-henti mengalir di pipiku. Aku sudah tak kuat menjalani hidup ini. Sakit sekali rasanya. Dadaku sakit sekali. Mengapa ini harus terjadi Tuhan? Katanya sehelai rambut pun tak akan jatuh tanpa seizin Tuhan, tapi kenapa ini bisa terjadi dalam hidupku? Kenapa ibuku pergi meninggalkanku? Tuhan, tolong jawab aku. Aku butuh jawaban.

Setelah air mataku berhenti, aku teringat akan perkataan seorang temanku bahwa ibunda sekarang sudah tenang, beliau sudah tidak lagi mengalami keruwetan dunia ini. Aku makin tak kuasa lagi menahan air mataku. Jadi sekarang aku lah yang berjuang sendiri menghadapi dunia ini. Apakah aku sanggup?

Aku merenungkan semua kata-kata belasungkawa dari teman-temanku. Teman-temanku berdoa supaya aku bisa kuat menjalani ini semua. Mereka selalu mengingatkanku bahwa selalu ada Tuhan yang menjadi sumber penghiburan dan kekuatan.

Tuhan... jika Engkau benar-benar ada, tunjukkanlah keberadaan-Mu kepadaku. Biarkan aku merasakan-Mu di dalam diriku. Jika memang benar Engkau adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, berikan aku kekuatan untuk menjalani hidupku. Aku sudah tidak berdaya. Aku sudah tidak punya kekuatan lagi.

Aku menyerah. Aku menyerah. Aku menyerah, Tuhan. Aku menyerah.

Secercah harapan masuk ke dalam pikiranku. Secercah cahaya masuk menerangi jiwaku yang gelap. Sesuatu yang lembut masuk ke dalam diriku. Terasa sangat lembut dan sangat menyenangkan. Ketika aku membuka mataku, aku melihat betapa indahnya pemandangan alam yang ada di hadapanku.

Aku seperti terbangun dari tidurku yang panjang. Aku mengalami mimpi buruk yang sangat menyedihkan dan menguras habis tenagaku. Untunglah sekarang tenagaku sedikit demi sedikit mulai pulih.

Beberapa bulan yang lalu, seiring dengan kepergian ibuku, aku berdoa supaya malaikat pencabut nyawa membawaku pergi dari dunia ini. Jikalau sampai saat ini aku masih hidup, pasti Tuhan punya rencana yang indah dalam hidupku. Baiklah aku akan hidup. Dengan cara bagaimana? Aku tidak tau. Bagaimana ke depannya, aku juga tidak tau. Aku ingin menjalani hidupku yang rapuh ini selangkah demi selangkah.

Pintu dibuka kepada orang-orang yang mengetuknya. Pemulihan datang kepada orang-orang yang mencarinya. Disini - di pantai Gili Trawangan ini - aku merasakan perubahan di dalam dirinya. Aku merasakan sosok manusia baru tercipta di dalam diriku. Pintu kehidupan telah terbuka untukku. Walaupun aku masih sedikit agak takut untuk melangkah, tapi aku tahu pintu tersebut sedang terbuka lebar dan menantiku untuk masuk ke dalamnya.

Aku cinta Gili Trawangan. Disinilah mukjizat itu terjadi. Disini aku mendapatkan pencerahan. Disini hatiku mendapatkan kesembuhan. Disini batinku menerima pemulihan. Disini aku keluar dari kegelapan yang selama ini menyelimutiku. Disini aku menjadi manusia baru.

Perasaan yang bergelora, itulah yang kurasakan saat ini. Perasaan ketika jatuh cinta pertama kali, itulah yang kualami saat ini. Sekarang aku tahu apa artinya bahagia. Dan aku hanya ingin bahagia. Selamanya.

Cintaku yang hilang diganti menjadi rasa cinta kepada kehidupan. Aku mencintai diriku. Aku mencintai kehidupanku. Aku mencintai alam semesta. Aku telah menerima banyak kebaikan di dalam hidupku. Sekarang saatnya aku yang memberi. Aku tidak ingin kebaikan itu berhenti, tapi aku ingin meneruskannya kepada orang lain.

Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku bahwa ternyata sangat menyenangkan bisa jalan-jalan ke tempat-tempat baru. Selama ini, aku selalu dibatasi oleh rasa takutku sendiri. Ah, aku jadi pengen jalan-jalan ke tempat-tempat indah yang ada di Indonesia ini, dari Sabang sampai Merauke.

Mumpung masih jam 9, sebaiknya aku segera bergegas balik ke penginapan. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke Senggigi. Aku kan ingin melihat lebih banyak lagi tempat-tempat yang indah.

Comments

Popular posts from this blog

[Bahasa Italia] Apa Kabar?

[Bahasa Italia] Ucapan Salam

Setahun Setelah Keliling Indonesia