Waktu aku masih kecil, aku pernah berkhayal suatu hari nanti aku ingin pergi ke Nias untuk melihat atraksi lompat batu seperti yang ada pada gambar uang kertas di gemgamanku. Dua puluh tahun kemudian, aku datang ke tempat dimana atraksi lompat batu tersebut dilakukan yaitu desa Bawömataluo.
Kenangan masa kecilkulah yang membawaku ke Nias. Makanya di awal perkenalanku dengan instruktur selancarku, Helbin, aku katakan padanya bahwa aku ingin sekali melihat desa Bawömataluo serta atraksi lompat batu seperti di uang nominal seribu tersebut. Dan aku senang sekali ketika dia berjanji akan membawaku ke desa tersebut setelah kami selesai belajar berselancar.
Desa Bawömataluo berada di Nias Selatan. Desa ini mewarisi kehidupan zaman megalitikum, makanya kita akan menemukan arca-arca batu di depan rumah penduduk. Sebenarnya desa ini bukan satu-satunya desa tradisional yang memiliki sisa-sisa peninggalan zaman batu tersebut. Hampir semua desa di Nias Selatan masih memiliki bukti-bukti sejarah dimana desa mereka pernah menjadi pusat kehidupan zaman batu.
Bawö artinya bukit dan mataluo artinya matahari, makanya Bawömataluo berarti bukit matahari. Dan memang jalan menuju desa ini tanjakan terus. Dari Sorake, dengan naik motor kami menempuh kira-kira sejam sampai tiba di desa ini.
|
Pintu masuk menuju desa Bawömataluo |
Sesampainya di desa, awalnya aku bertanya-tanya dimana lompat batunya. Lalu kemudian Helbi mengajakku naik melalui tangga yang diapit oleh dua patung binatang (entah apa nama kedua patung penjaga ini). Sekarang aku paham, ternyata desa Bawömataluo itu berada di puncak tangga yang sedang kami naiki ini. Kami tidak menghitung jumlah anak tangganya, namun ada informasi yang mengatakan jumlahnya 85 anak tangga. Tiap hari harus naik turun tangga ini, aku tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk betis warga desa ini. Untunglah aku tidak tinggal di rumah yang anak tangganya ada 85.
Sesampainya di atas, suasana yang kulihat sangat jauh berbeda dengan suasana di bawah tadi. Sangat kontras. Penduduk desa Bawömataluo tinggal di rumah adat, walaupun beberapa rumah di dekat tangga tidak berbentuk rumah adat lagi. Menurut keterangan anak laki-laki yang kemudian menjadi pemandu kami, kayu laban yang biasa mereka pakai untuk membangun rumah adat sudah sangat jarang didapat, sehingga beberapa rumah terpaksa dibangun layaknya rumah modern zaman sekarang.
|
Rumah tinggal raja atau omo sebua |
|
Masuk ke dalam omo sebua |
|
Konstruksi omo sebua tanpa menggunakan paku |
Kami dibawa berkunjung ke rumah raja yang disebut juga omo sebua. Beliau adalah keturunan ke-5 dari silsilah kerajaan Bawömataluo. Beliau menerima kami masuk ke dalam rumahnya. Ketika masuk ke dalam rumah aku sedikit terkejut melihat tidak ada meja dan kursi untuk tamu, ruangan yang besar itu kosong melompong mirip seperti aula. Pemandu kami, anak kecil tadi mengatakan bahwa ruangan itu juga yang digunakan sebagai ruang tidur serta ruang pertemuan (ruangan serba guna dong).
Konstruksi rumah kepala suku ini sangat unik. Kayu gelondongan disusun saling silang tanpa menggunakan paku. Anehnya rumah itu bisa berdiri kokoh. Helbin mengatakan bahwa dari semua desa-desa yang ada di Nias, desa Bawömataluo lah yang memiliki omo sebua paling megah.
|
Suasana desa Bawömataluo |
Masyarakat desa masih mengandalkan kehidupan dari pertanian. Seperti yang terlihat saat ini, di hari yang terik ini mereka menjemur biji coklat di depan rumah mereka. Aku bilang ke pemandu kami bahwa orang menjemur biji coklat atau pakaian dimana-mana sungguh tidak enak dilihat mengingat ini adalah desa wisata. Pemandu kami menjelaskan bahwa biasanya turis datang di hari Minggu dan sudah menjadi peraturan desa untuk tidak menjemur apapun di hari Minggu.
Jika rumah raja disebut
omo sebua, maka rumah rakyat biasa disebut
omo hada. Semua
omo hada yang ada di desa ini disusun sedemikian rupa sehingga bagian belakang masing-masing rumah akan bertemu di satu titik. Mungkin di masa lalu konstruksi rumah seperti ini memiliki manfaat seperti lari dari kejaran serdadu Belanda atau Jepang (mungkin, ini cuma analisaku saja), tapi bagaimanapun arsitek desa adalah orang pintar bisa memikirkan susunan rumah seperti itu.
|
Fahombo, atraksi lompat batu
(foto: kaskus.co.id) |
|
foto: niasbangkit.com |
Atraksi lompat batu yang terkenal itu dalam bahasa lokal disebut
fahombo. Di zaman dulu, setiap laki-laki harus bisa melompati batu setinggi 2,1 meter untuk membuktikan bahwa dia sudah dewasa. Seorang pria dewasa adalah seorang pria yang sudah bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan sudah sepantasnya menikah. Batu tersebut disebut
hombo batu dalam bahasa lokalnya.
Seperti yang aku jelaskan di awal bahwa tujuan utamaku datang ke tanah Nias adalah melihat atraksi lompat batu tersebut. Pemandu kami mengatakan bahwa sekarang juga aku bisa menyaksikan
fahombo 'hanya' dengan membayar 150.000 rupiah. Aduh, mahal juga ya. Aku tidak menyediakan anggaran sebesar itu hanya untuk melihat seorang pria mencoba melompati
hombo batu sebanyak dua kali, lalu setelah itu aku bisa berfoto sepuasnya dengannya.
|
Hombo Batu dilihat dari omo sebua |
Setelah duduk berjam-jam duduk menikmati desa dari dalam
omo sebua dan sempat berbincang-bincang juga dengan sang kepala adat tersebut, akhirnya aku memutuskan mengurungkan niat untuk melihat
fahombo. Lagian aku sudah pernah melihatnya di TV, aku juga bisa melihatnya di Youtube. Toh aku sudah di desa ini dan cukup puas dengan desa ini. Paling tidak rasa penasaran di masa kecil itu sudah terjawab.
Aku bisa membayangkan bagaimana seorang laki-laki mengambil ancang-ancang lalu melompati batu. Ya ya, jelas sekali terekam di dalam pikiranku bagaimana proses lompat batu itu terjadi. Jadi aku tidak perlu lagi mengeluarkan uang sebesar 150.000 karena semuanya sudah terjadi di dalam pikiranku.
Sebelum menuruni tangga, kami bisa melihat Sorake yang tampak di kejauhan. Menikmati sejenak pemandangan pulau Nias yang indah menjadi penutup perjalanan ke desa Bawömataluo. Lalu kami pun melanjutkan perjalanan kami.
Tadi pagi Helbin berjanji akan mengajakku ke beberapa desa hari ini, tapi setelah dari desa Bawömataluo, tiba-tiba dia berubah pikiran. Aku agak kecewa sebenarnya karena aku penasaran melihat desa-desa di Nias Selatan ini. Masing-masing desa punya bentuk
omo hada dan tinggi
hombo batu yang berbeda. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bisa jadi alasan yang bagus supaya aku kembali lagi ke Nias. Suatu hari nanti.
Selanjutnya Helbi dan aku jalan-jalan ke Teluk Dalam, ibu kota kabupaten Nias Selatan. Dari desa ini kira-kira setengah jam sampai di Teluk Dalam. Setelah itu, kami kembali ke Sorake dan singgah di Sorake Beach Resort.
Hemmm, mba Asina pernah nanya gak? apakah ada pelompat yang nyangkut karena kurang tinggi melompat?
ReplyDeletegak pernah nanya sih karena gak kepikiran ama pertanyaan itu. tapi harusnya gak mungkin terjadi kali ya karena yang akan dikasih kesempatan untuk melompat harusnya yg sudah profesional dengan jam terbang yang sangat tinggi.
Delete